Rabu, 15 Februari 2017

Pagi itu saya siap berangkat ke kampus. Mengantre di depan asrama sambil membaca catatan kuliah maupun buku teks bahasa Jepang. Mau mengantre lebih awal maupun paling akhir tidak ada bedanya; ada saja teman mengobrol, sudah ataupun baru kenal. Bus kampus Sanjo-Aobayama ini seperti sebuah 'forum' bagi saya. Saya bukanlah seorang yang begitu gampang terbuka, tapi forum di bus ini begitu nyaman: bisa berkenalan, sama tujuan, satu bangsa dan bahasa; di dalamnya saya mengenal orang-orang. Di dalamnya juga saya menjadi akrab dengan beberapa orang. Di dalamnya saya mendapatkan teman baru dan keluarga baru. Waktu itu begitu mudahnya saya merasa nyaman. Walau berdiri terkantuk atau berdesak seperti ikan sarden.

Sambil menunggu bus ini untuk pulang pukul 8 malam, saya menghabiskan waktu dengan mengerjakan tugas di perpustakaan semenjak selesai kuliah bahasa jepang pukul 6-nya tadi. Di dalamnya, seringkali saya mengamati kegiatan warga masing-masing dan ikut terlarut di dalamnya. Selalu sambutan hangat yang saya dapat. Hingga kini pun saya masih suka berada di perpustakaan itu. Mungkin selamanya sampai lulus nanti.

Di perpustakaan ini, kegiatan kami bukan hanya belajar atau mengejar deadline tugas. Kami sering berjemaah salat; sebelum atau sesudahnya pun sering juga kami makan bersama. Saat ada yang tidak membawa makanan, di sanalah kami berbagi sesuap nasi, lauk, maupun ciki. Di forum makan ini juga saya sering mendapat info makanan halal, bahkan mendapat pencerahan bagaimana sih halal itu sebenarnya.

Di Sendai ini, saya tidak lagi merasa sendiri. Tidak hanya karena banyaknya senior yang ada di sini, tetapi juga semua orang Indonesia di Sendai itu menyenangkan. Beberapa pertemuan yang berkesan di awal kedatangan saya adalah pertemuan pelajar, imonikai, angklung dan geotreking. Bersama mereka adalah pembebas belenggu lidah dari keharusan berbahasa asing. Makanan hangat di antara masakan standar sederhana mahasiswa. Tawa lepas di tengah tekanan. Entahlah, semuanya bagaikan api unggun di dingin malam. Beratnya kuliah, sulitnya mendapat nilai bagus, semua luntur saat berada di sekitar 'api unggun' ini.

Lalu, saya selalu ingat ketika mengunjungi restoran ramen halal Naritaya. Koki restoran tersebut begitu mengenal saya yang tidak memakan daging. Beliau dengan tidak keberatan sedikit mengubah bahan masakannya untuk saya. Pulang dari Naritaya tidak pernah saya tidak kekenyangan ataupun tidak tersenyum lepas.

Naritaya Ramen, 2016

* *  *

Jika hujan tidak akan selamanya, begitupun cerah. "Roda terus berputar," kataya. Namun, buruknya, saya bukanlah seorang yang mahir beradaptasi pada putaran ini. Bus kampus berhenti beroperasi  di musim semi pertama saya. Naritaya harus terpaksa tutup di sebuah akhir musim panas. Orang-orang mulai pulang satu per satu. Datang orang-orang baru tapi entah mengapa semua tak lagi sama. Kumpul pelajar tidak seasyik dulu lagi. ‘Sudah-makan-pergi’ tidak jarang terjadi. Kadang banyak konflik. Perpustakaan menjadi ‘sepi’. Mungkin memang saatnya, dan memang semuanya sedang ‘menjadi dewasa’. Namun, ...


"Saya rindu Sendai yang dahulu."

Post a Comment:

EXPERIRON

Jika hidup dapat diibaratkan sebagai kumpulan gelombang baik dan gelombang buruk, dapatkah kita mengukur pengalaman sebagai mode diskrit yang terbentuk akibat superposisi keduanya?