Sendai Dahulu
Pagi itu saya siap berangkat ke
kampus. Mengantre di depan asrama sambil membaca catatan kuliah maupun buku teks bahasa Jepang. Mau mengantre lebih awal maupun paling akhir tidak ada bedanya; ada saja teman mengobrol, sudah ataupun baru kenal. Bus kampus Sanjo-Aobayama
ini seperti sebuah 'forum' bagi saya. Saya bukanlah seorang yang begitu gampang terbuka, tapi forum di bus ini begitu nyaman: bisa berkenalan, sama tujuan, satu bangsa dan bahasa; di dalamnya saya mengenal orang-orang. Di
dalamnya juga saya menjadi akrab dengan beberapa orang. Di dalamnya saya mendapatkan
teman baru dan keluarga baru. Waktu itu begitu mudahnya saya merasa nyaman.
Walau berdiri terkantuk atau berdesak seperti ikan sarden.
Sambil menunggu bus ini untuk pulang
pukul 8 malam, saya menghabiskan waktu dengan mengerjakan tugas di perpustakaan
semenjak selesai kuliah bahasa jepang pukul 6-nya tadi. Di dalamnya, seringkali
saya mengamati kegiatan warga masing-masing dan ikut terlarut di dalamnya. Selalu
sambutan hangat yang saya dapat. Hingga kini pun saya masih suka berada di
perpustakaan itu. Mungkin selamanya sampai lulus nanti.
Di perpustakaan ini, kegiatan kami
bukan hanya belajar atau mengejar deadline tugas. Kami sering berjemaah salat; sebelum atau sesudahnya pun sering juga kami makan bersama. Saat ada yang tidak
membawa makanan, di sanalah kami berbagi sesuap nasi, lauk, maupun ciki. Di
forum makan ini juga saya sering mendapat info makanan halal, bahkan mendapat
pencerahan bagaimana sih halal itu
sebenarnya.
Di Sendai ini, saya tidak lagi merasa
sendiri. Tidak hanya karena banyaknya senior yang ada di sini, tetapi juga semua orang
Indonesia di Sendai itu menyenangkan. Beberapa pertemuan yang berkesan di awal
kedatangan saya adalah pertemuan pelajar, imonikai,
angklung dan geotreking. Bersama mereka adalah pembebas belenggu lidah dari
keharusan berbahasa asing. Makanan hangat di antara masakan standar sederhana
mahasiswa. Tawa lepas di tengah tekanan. Entahlah, semuanya bagaikan api unggun
di dingin malam. Beratnya kuliah, sulitnya mendapat nilai bagus, semua luntur saat berada di sekitar 'api unggun' ini.
Lalu, saya selalu ingat ketika
mengunjungi restoran ramen halal Naritaya. Koki restoran tersebut begitu
mengenal saya yang tidak memakan daging. Beliau dengan tidak keberatan sedikit mengubah
bahan masakannya untuk saya. Pulang dari Naritaya tidak pernah saya tidak
kekenyangan ataupun tidak tersenyum lepas.
* *
*
Jika hujan tidak akan selamanya,
begitupun cerah. "Roda terus berputar," kataya. Namun, buruknya, saya bukanlah seorang yang mahir beradaptasi pada putaran ini. Bus kampus berhenti beroperasi di
musim semi pertama saya. Naritaya harus terpaksa tutup di sebuah akhir musim panas. Orang-orang mulai pulang satu per satu. Datang orang-orang baru tapi entah mengapa semua
tak lagi sama. Kumpul pelajar tidak seasyik dulu lagi. ‘Sudah-makan-pergi’ tidak jarang terjadi. Kadang banyak konflik. Perpustakaan
menjadi ‘sepi’. Mungkin memang saatnya, dan memang semuanya sedang ‘menjadi
dewasa’. Namun, ...
"Saya rindu Sendai yang
dahulu."
Post a Comment: