Halal-Haram dan Kimia
Hidup di Jepang bagi saya menjadikan pilihan konsumsi sehari-hari sangat ketat untuk menjaga kehalalannya. Karena ini juga, saya diharuskan untuk belajar kanji lebih awal khusus untuk dapat membaca bahan-bahan makanan yang tertera dalam suatu produk, terutama di bagian alergen dan kanji yang saya kategorikan menjadi “kanji bukan halal”, yaitu 豚(babi), 鶏(ayam), 牛(sapi), 酒(sake), 乳化剤(emulsifier), 動物油脂(minyak hewan), dan masih beberapa lagi. Lalu muncul juga orang yang makan ABB (asal bukan babi)-jadi ayam yang belum halal pun langsung di “hap”; orang yang mana-mungkin-ada-babi-dalam-roti, juga mereka yang sangat ketat menjaga makanan hingga tidak memakan suatu produk dengan 乳化剤(emulsifier) yang belum dikonfirmasi asalnya (tidak usah diributkan, masalah halal-haram sangat tergantung pada pemahaman pribadi, terutama pada perkara yang rancu/syubhat).
Dahulu sekali pernah terlintas di pikiran, apa jadinya ya hukum (Islam) suatu zat di level molekul? Semisal, adakah konsentrasi minimum suatu zat untuk disebut haram atau najis? Atau, apakah mutasi sebuah senyawa menjadi senyawa lain akan mengubah status kehalalan zat tersebut? Misalnya gula menjadi alkohol dalam bir tetapi juga dapat dikonversi lebih lanjut menjadi cuka. Dalam tulisan ini, saya ingin mencoba menghubungkan hukum halal-haram dalam Islam dan ilmu kimia, terutama dalam hal “kekekalan massa”. Namun, ini hanyalah perbandingan lemah tanpa cukup referensi, hanya menuangkan apa-apa yang memenuhi kepala saya. Bukan se-karya ilmiah atau juga bukan se-fatwa fiqih. Mohon tidak usah terlalu serius, dipertolong untuk tidak menginjak gas :)
Dimulai dari hukum asal segala sesuatu (dalam hal selain ibadah) adalah halal atau boleh, terkecuali yang dilarang. Boleh berjual-beli, makan, belajar, bepergian, menikah, dan lain-lain. Dalam hal makan, hukum asal makanan juga adalah halal, terkecuali jika diharamkan. “Pengecualian” ini menegaskan bahwa makanan yang diharamkan itu sangat sedikit jika dibandingkan dengan yang dihalalkan, yaitu: (1) bangkai, (2) darah yang mengalir, (3) daging babi, dan (4) sembelihan dengan selain mengatasnamakan Allah (QS 4:3); dan (5)juga haramnya minuman khamr (QS 4:90). Sedikit bukan?
Dari kelima yang haram tadi dikecualikan lagi; bahwa segala sesuatu yang ada di laut adalah boleh, bahkan yang berbentuk bangkai (tentunya yang belum membusuk). Untuk darah, dikecualikan lagi bahwa darah yang tidak mengalir seperti dalam hati dan limpa adalah boleh.
Dari kelima yang haram tadi dikecualikan lagi; bahwa segala sesuatu yang ada di laut adalah boleh, bahkan yang berbentuk bangkai (tentunya yang belum membusuk). Untuk darah, dikecualikan lagi bahwa darah yang tidak mengalir seperti dalam hati dan limpa adalah boleh.
Dari haramnya lima hal ini, saya ingin membagi kepada tiga kategori. Pertama, haram karena zatnya, yaitu bangkai, darah, dan daging babi. Kedua, haram karena syarat ibadah, yaitu segala sembelihan selain dengan nama Allah. Lalu khamr adalah diharamkan karena sebabnya yang memabukkan atau menghilangkan akal.
Lalu, apakah hukum kekekalan massa dapat diterapkan dalam hal-hal ini? Menurut saya ya, tapi dengan konsiderasi bahwa setiap molekul adalah tidak identik (quantum mechanics appears ho-ho!). Contohnya, protein A pada daging sapi kita bedakan dengan protein A pada bangkai sapi meskipun protein tersebut sama-sama protein A. Kata kuncinya adalah identitas.
Mari kita mulai dari kategori pertama yaitu zat. Zat berarti segala komponen yang membangun sesuatu tersebut, dan jika sesuatu tersebut diharamkan maka haramlah segala zat ini. Karena diharamkannya babi, maka haramlah juga dagingnya, tulangnya, protein, lemak, karbohidratnya, semuanya. Sama adanya pada darah dan bangkai. Untuk kategori kedua, zat ini menjadi haram setelah hewan yang mengandung zat ini disembelih dengan tidak mengatasnamakan Allah, dan sebaliknya menjadi halal jika disembelih dengan nama Allah. Dengan hukum kekekalan massa, bahwa jika zat ini dalam skala molekul dikonversi menjadi senyawa lain, identitas zat ini tidak berubah dan hukum atas zat ini pun tidak berubah.
Andaikan lemak A pada sapi memiliki gugus fungsi B (halal) dan lemak A’ pada babi memiliki gugus fungsi B’ (haram), maka jika kita dapat menukar gugus fungsi ini, tabel kehalalan akan menjadi seperti tabel “AND”, sebab yang halal hanyalah lemak A sapi bergugus fungsi B.
Protein
|
Gugus fungsi
|
Halal?
|
A
|
B
|
True
|
A
|
B’
|
False
|
A’
|
B
|
False
|
A’
|
B’
|
False
|
And so on and so forth.
Jadi, masalah emulsifier tadi jika bahan dasarnya adalah hewan (tentunya selain babi pun, kita tidak tahu kehalalan daging hewan tersebut) tetaplah belum masuk kategori halal, paling tinggi syubhat, bahkan bisa haram. Jika dikonfirmasi bahwa emulsifier tadi berbahan dasar tumbuhan, maka halal-lah sudah. Berlaku untuk bahan–tidak–jelas lainnya seperti shortening, margarin, dll.
Tambahan, untuk empat yang diharamkan tadi apabila bukan untuk konsumsi (misalkan sandang), menurut saya yang menjadi bahan pertimbangan adalah najis atau tidaknya zat tadi. Kulit bangkai sapi boleh disamak dan dijadikan pakaian, namun tidak untuk kulit babi (ini perlu referensi, mohon kalau keliru dikoreksi ya).
Jika khamr haram, apakah alkohol (komponen kunci khamr) juga haram?
Tidak. Alkohol tidak haram, asal hukumnya adalah suci. Khamr, banyak atau sedikitnya pun, diharamkan karena memabukkan (pada level tertentu dan terbukti) dan juga bersifat najis menurut mayoritas ulama. Jika alkohol haram, maka haramlah juga beberapa konsumsi berikut ini: tape, jus buah, durian, dan bahkan nasi. Alkohol pun dalam ilmu kimia tidak terbatas pada etanol, tetapi metanol, propanol, dan –ol yang lain (yang bergugus fungsi hidroksi –OH), bahkan glukosa(?). Minuman yang termasuk khamr sendiri diantaranya bir, sake, tuak, mengandung etanol dalam kisaran 10~20%, lebih pun ada. Narkotika yang mungkin tidak mengandung alkohol sama sekali, tapi memabukkan, diharamkan. Memabukkan di sini berarti menghilangkan akal, bukan mabuk sakit seperti masuk angin, mabuk laut, atau mabuk kendaraan (mabuk cinta?). Oh ya, meskipun alkohol tidak haram, jangan juga ya mencampur alcohol dengan air lalu diminum, bukan mabuk lagi mungkin kematian kalau yang ini.
Muncul lagi trivia: jika zat alkohol dalam khamr tidak diharamkan, jika kita konversi alkohol tersebut menjadi cuka (etanol menjadi asam asetat lewat reaksi oksidasi), bolehkah kita mengkonsumsi cuka tersebut?
Sayangnya tidak juga. Ini mirip dengan keharaman “zat” pada kategori kedua. Khamr biasanya berbahan dasar makanan atau buah-buahan yang kaya akan gula dan difermentasi untuk menghasilkan alkohol. Setelah konversi ini terjadi, hukum haram pada zat ini dijatuhkan, karena sebabnya yang akan memabukkan ketika dikonsumsi. Identitas baru ini melekat meskipun bahan ini dikonversi lagi menjadi senyawa yang tidak memabukkan.
Apakah argumen ini tidak konsisten? Mungkin iya. Tetapi, argumen kedua adalah komponen kunci pada khamr bukan hanya etanol. Pun senyawa-senyawa lain yang tidak kita tahu. Senyawa mana yang juga memabukkan selain alkohol. Jika masih belum masuk logika, marilah kembali dengan pemahaman iman kita (sebagai muslim) pada satu kisah di masa Rasulullah SAW.
Apakah argumen ini tidak konsisten? Mungkin iya. Tetapi, argumen kedua adalah komponen kunci pada khamr bukan hanya etanol. Pun senyawa-senyawa lain yang tidak kita tahu. Senyawa mana yang juga memabukkan selain alkohol. Jika masih belum masuk logika, marilah kembali dengan pemahaman iman kita (sebagai muslim) pada satu kisah di masa Rasulullah SAW.
Khamr tidak diharamkan dengan satu langkah melainkan secara perlahan (setidaknya tiga kali), karena minum-minum khamr ini merupakan kebiasaan bangsa Quraisy di masa itu. Langkah pertama, wahyu turun kepada Nabi SAW bahwa janganlah kalian shalat dalam keadaan mabuk. Kedua, tentang manfaat khamr yang jauh lebih sedikit dibanding mudharatnya. Ketiga, larangan terang-terangan bahwa minum-minum adalah salah satu dari perbuatan setan dan harus dijauhi. Nah, saat larangan ketiga ini muncul, masih ada sahabat yang memiliki usaha pembuatan khamr. Sahabat tersebut bertanya, bolehkah ia menjadikan khamr ini cuka (dengan mendiamkannya) agar tidak terlalu besar kerugian yang ia derita. Jawabannya tidak.
“Dari Anas bin Malik –radhiyallahu ‘anhu-, ia berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang khamr yang dijadikan cuka? Beliau menjawab: tidak boleh.” [Hadits diriwayatkan oleh Imam Muslim]
Bahkan hasil samping produksi khamr ini juga tidak diperbolehkan. Misalnya, asam tartarat yang saya temukan pada komposisi baking powder (dalam bahasa Jepang 酒石酸, terdapat kanji sake yang membuat saya jadi penasaran). Asam tartarat ini masuk pada kategori syubhat, namun menjadi haram jika adalah hasil samping produksi wine.
Lalu bukankah produksi cuka akan melewati fase pembuatan khamr terlebih dahulu? Ya, namun karena ini terjadi dengan sendirinya, maka cuka tersebut tetaplah halal. Pertama, karena niat atau tujuan awalnya adalah produksi cuka. Kedua, tidak ada usaha untuk membuat khamr seperti menyimpannya di tempat teduh (untuk fermentasi anaerobik). Hikmah pengharaman mengkonversi khamr menjadi cuka adalah juga semata-mata untuk cepat-cepat membuang barang haram tersebut dan tidak mendiamkannya sehingga ada kesempatan untuk meminumnya.
Begitulah,
Mungkin tulisan saya ini banyak kelirunya, namun sekiranya tulisan ini ada yang benarnya, alhamdulillah, Allah-lah yang telah memberi ilmu tersebut. Dengan banyaknya argumen ini (meskipun tidak begitu kuat, namun dalil yang ada kuat) semoga tidak ada alasan atau permisi lagi untuk pembaca mencoba mengkonsumsi yang jelas haram. Banyak sekali makanan yang halal, ada pula yang haram, dan perkara diantaranya adalah syubhat (rancu), dan menjauhi perkara yang rancu ini adalah salah satu sifat zuhud, yaitu menjauhi hal-hal yang tidak bermanfaat untuk kehidupan akhirat.
Mungkin tulisan saya ini banyak kelirunya, namun sekiranya tulisan ini ada yang benarnya, alhamdulillah, Allah-lah yang telah memberi ilmu tersebut. Dengan banyaknya argumen ini (meskipun tidak begitu kuat, namun dalil yang ada kuat) semoga tidak ada alasan atau permisi lagi untuk pembaca mencoba mengkonsumsi yang jelas haram. Banyak sekali makanan yang halal, ada pula yang haram, dan perkara diantaranya adalah syubhat (rancu), dan menjauhi perkara yang rancu ini adalah salah satu sifat zuhud, yaitu menjauhi hal-hal yang tidak bermanfaat untuk kehidupan akhirat.
Wallahu a’lam
Post a Comment: