Minggu, 19 April 2020


Tulisan ini berasal dari hasil diskusi di Instagram Stories pada 18 Februari 2020. 
Apakah sains dapat menjadi bukti kebesaran sebuah kitab suci? Sebaliknya, apakah menentang dogma agama dan menjadi seorang ateis itu logis secara saintifik? Bisa dibilang sains menjadi jembatan tempat “berperangnya” dua kubu ekstrem. Satu selalu memakai dalil agama dan berdalih penemuan sains adalah bukti keagungan kitabnya. Sementara satunya menyanggah bahwa tuhan itu tidak ada karena tidak ada penemuannya juga. Akhirnya sang agamis dipanggil dogmatis, ateis tetap ateis, sementara para pelaku sains sering dianggap liberal/sekuler.

Mari kita kembali ke hal yang paling mendasar dalam metode saintifik.


Coba teman-teman tonton video berikut ini: https://youtu.be/yi0hwFDQTSQ.


Selain sejarah bahwa Al-Haytam-lah, seorang cendekiawan muslim, yang mencetuskan metodologi sains (yang seringkali dianggap “sekuler” ini), ada beberapa poin penting yang mesti dimengerti bagaimana sains bekerja. Dalam suatu penelitian, kita diharuskan untuk mempunyai hipotesis (dugaan awal) untuk hasil yang nanti kita dapat. Nah, dugaan ini harus kita relakan apabila eksperimen menunjukkan itu salah. Salah satu sifat dari sains ini disebut “falsifability”,

Falsifiabilitas adalah pernyataan bahwa untuk setiap hipotesis agar dianggap benar, ia harus tetap dapat disangkal sebelum ia dapat diterima sebagai hipotesis saintifik atau teori.


sehingga jika ada sesuatu yang mutlak benar, ia tidak termasuk kepada bahasan saintifik. Kebenaran tidak mutlak 100% dalam sains, hanya saja peluang teori tersebut benar semakin besar dengan banyaknya bukti pendukung. Falsifabilitas menjadi inti dari sains dimana setiap orang berhak menyangkal sebuah teori dengan apa yang ia temukan berbeda dari eksperimen.


Buku Optika karangan Alhazen/Al-Haytam (sumber: wikipedia)


Konon ketika suatu fenomena berhasil ditemukan dalam sains, orang-orang “agamis” langsung mengakuinya sebagai bukti kebenaran kitabnya. “Ini sudah ada di kitab kami”. Padahal menurut saya pribadi, bisa jadi pelaku telah merendahkan kesucian kitabnya karena hal tersebut. Pelaku merelakan ayat pada kitab yang dia anggap selalu benar menjadi sesuatu yang dapat dipatahkan sains di masa mendatang, terlepas apakah itu akan tersangkal atau tidak. Sebagian pembaca pasti menganggap saya sekuler di titik ini. Saya ingin memperingatkan: Cocoklogi itu berbahaya untuk agama.


Lalu tentang ateisme yang menyangkal adanya tuhan. Sebenarnya lebih sulit lagi menyatakan ketiadaan sesuatu dibanding keadaan sesuatu; meskipun sama-sama sulit jika objeknya adalah tuhan. Michio Kaku pernah juga membahas ini dengan perumpamaan “kita juga tidak bisa menyangkal adanya unicorn, karena kita harus membuktikan unicorn itu tidak ada dimanapun di alam semesta yang luas ini”. Marcelo Gleiser mengatakan bahwa ateisme sama saja dengan berkata, “Tuhan itu tidak ada walaupun saya tidak punya bukti. Pokoknya tidak ada. Titik,” yang mana sangat tidak ilmiah. Hal ini bertentangan dengan filsuf Bertrand Russel yang menyatakan bahwa hanya karena kita tidak bisa membuktikan ketiadaan tuhan, bukan berarti kebenarannya juga masuk akal. Singkatnya, para saintis pun berbeda pendapat tentang ini dan banyak yang dianggap agnostik (orang yang ragu pada keberadaan tuhan karena tidak adanya bukti ilmiah).


Daripada berdebat masalah ini, menurut saya masih banyak hukum sains di alam semesta ini yang belum terpecahkan; Kenapa tidak itu dulu saja? Lagi-lagi yang paling penting dalam kehidupan beragama adalah toleransi antaragama maupun dengan yang seagama. Toleransi kepada yang berbeda dan toleransi kepada yang belum tahu sesuatu. Mengatakan “semoga mendapat hidayah” kepada orang yang dianggap lebih awam adalah sifat sombong dan ujub seorang yang merasa agamis. Mengaku-ngaku sebuah penemuan adalah juga bukti dari kitab suci juga dapat menjadi hijab sebuah agama, karena dogmatisitasnya, terhadap syiarnya. Bukankah sering difirmankan, “Tidakkah kalian berpikir?”

Tulisan ini berasal dari hasil diskusi di Instagram Stories pada 18 Februari 2020.




Mohon maaf bila kurang berkenan.

Referensi:

  1. The Scientific Method: Steps, Examples, Tips, and Exercise. Diambil pada 18 Februari 2020, dari https://www.youtube.com/watch?v=yi0hwFDQTSQ
  2. Michio Kaku: There are 2 types of god. Only one is within the boundary of science. Diambil pada 18 April 2020, dari https://www.youtube.com/watch?v=KoGYObRNn6A
  3. Atheism is inconsistent with science, says physicist Marcelo Gleiser. Diambil pada 18 April 2020, dari https://bigthink.com/culture-religion/atheism-inconsistent-science

Post a Comment:

EXPERIRON

Jika hidup dapat diibaratkan sebagai kumpulan gelombang baik dan gelombang buruk, dapatkah kita mengukur pengalaman sebagai mode diskrit yang terbentuk akibat superposisi keduanya?