Kimia ke Fisika, tetap Leluhur Ilmu Material
“Kamu
udah di kimia kenapa malah mau ke fisika, udah enak lho, fisika mah
nanti menderita,” ujar seseorang bergurau.
“Mengapa
kamu ingin pindah dari jurusan yang prospek kerjanya sangat tinggi ke
jurusan yang terkenal salah satu yang paling sulit?” Komentar
warganet di sebuah situs tanya-jawab saat saya menjelajah mencari
pendapat untuk kasus saya.
“Coba
pikirkan baik-baik. Riset itu tidak harus selalu sesuai minat pada
awalnya. Bisa jadi nanti kamu kesulitan,” saran seorang Sensei saat
saya berkonsultasi tentang ini.
“Kok
bisa sih dari kimia malah mau ke fisika?” Dan komentar lain
sebagainya.
Namun, pernahkah kamu menguasai suatu hal tetapi tidak merasa senang karenanya; bergelut dalam sesuatu yang terasa “saya bisa” bukan yang “saya suka”?
Selama 4 tahun belajar, ternyata saya bisa bosan terhadap kimia yang saya kenal di kelas 10 SMA ini. Bisa dibilang, kimia bukanlah passion saya. Sedari dulu yang ingin saya pelajari adalah ilmu material yang mana adalah “irisan” dari kimia dan fisika murni. Kemungkinan besar, saya memilih kimia karena menurut saya kimia itu mudah dan saya merasa bisa sejak pertama kali mencobanya.
Jejak sedari OSN Kimia sampai masuk jurusan fisika teori
Ilmu
eksak adalah ilmu yang mungkin banyak orang tidak suka, tapi saya
suka sedari kecil. Ia tersembunyi di kehidupan sehari-hari pada
hal-hal yang sederhana. Saat saya berhasil memecahkan 'misteri'-nya,
voila, adalah kebahagiaan tersendiri. Kesukaan saya tidak terlalu
spesifik. Saya mulai menyukai IPA terutama saat belajar biologi
sekolah dasar. Saya juga menyenangi matematika geometri saat MTs.
Kemudian, saat MA bisa jadi adalah pertama kalinya saya bertemu
dengan kimia dan langsung 'cocok', dalam artian tidak terlalu sulit
dalam memahami konsepnya.
Di jenjang MA, saya menyenangi kimia, dan biologi; agak menyerah dalam matematika karena terlalu sulit levelnya dibandingkan dengan masa-masa MTs (terima kasih, IC). 'Fisika SMA' dengan mekanikanya saya rasa terbilang biasa saja. Di tahun 2014, saya berkesempatan mengikuti Olimpiade Sains Nasional bidang kimia dan lanjut sampai tahap pelatihan untuk jenjang internasional. Lalu, saya mengenal mekanika kuantum di pelatihan tersebut; salah satu yang paling sederhana yaitu toy-model partikel dalam kotak dengan persamaan Schrodinger.
Memutuskan jurusan kuliah cukup alot untuk saya. Jurusan apa yang dapat berkarir di bidang material? Saat itu wawasan saya belum cukup terbuka kepada apa yang sekarang saya kenal dengan "fisika materi terkondensasi" (condensed matter physics) atau sering disebut juga "fisika material". Singkat cerita, atas saran dari berbagai pihak, saya memutuskan untuk mendaftar jurusan kimia di Tohoku University (Tohokudai), Sendai, Jepang karena juga berbeasiswa. Pilihan lain adalah FMIPA di salah satu universitas di Bandung, dan sebenarnya 70% saya akan memilih jurusan fisika. Saya tetap bersyukur sudah pernah memilih untuk menempuh studi di jurusan kimia ini. Jurusan ini pula yang sebenarnya membukakan mata saya kepada apa yang sebenarnya saya minati.
Menjelang tahun ketiga perkuliahan, materi kuliah berganti dengan yang terspesialiasi. Di kimia Tohokudai, spesialisasi kimia mencakup kimia anorganik, kimia organik, kimia fisik, dan biokimia. Dari kesemuanya yang harus diambil, saya memfokuskan diri kepada kimia fisik, terutama fisika statistik dan mekanika kuantum (dua fisika dari dasar ilmu kimia, selengkapnya). Walaupun begitu, mayoritas waktu di kelas terasa membosankan. Jujur saja. Tidak ada masalah dalam tingkat kesulitan. Ada sedikit ketidakpuasan terhadap pengajar yang kurang cakap berbahasa Inggris, tapi bukan masalah untuk saya. Sedikit sekali materi perkuliahan yang bisa memicu rasa penasaran saya. Saya mulai sering 'membajak' kelas untuk belajar hal lain yang membuat saya lebih penasaran, seperti fisika statistik, teori gas elektron, dan lain-lain. Saya pun menanyakan minat saya. Benarkah passion saya ada di kimia, ataukah saya hanya merasa bisa?
Saya pun menjelajah internet untuk mencari jenis riset apa yang saya suka: Superkonduktivitas, fotoemisi, mikroskop penerowongan kuantum (quantum tunnelling), dan material kuantum. Saya selalu yakin minat-minat ini berada di garis batas antara jurusan kimia dan fisika. Apalagi, sains pada dasarnya komprehensif.
![]() |
Mimpi lama, ingin ke University of Oxford. |
Satu hal yang saya sadari, belajar kimia sejak kelas 10 MA hingga tahun ketiga kuliah (selama 6 tahun)-lah yang membukakan mata saya tentang menariknya dunia fisika. Dahulu, saya mengenal fisika di sekolah maupun di tingkat olimpiade nasional adalah layaknya jalan menjadi seorang insinyur: Lebih dari setengah materi adalah engineering. Sementara itu, fisika modern (teori relativitas Einstein dan mekanika kuantum) dikenalkan di akhir kurikulum. Well, saya mengerti, tentunya untuk menguasai fisika, kita harus paham dulu dasar mekanika yang dicetuskan Newton. (But come on, OSN Mekanika?) Di sisi lain, kimia sudah mengenalkan fisika modern sejak awal, walaupun tidak mendalam. Walaupun berlabel kimia, esensi dari belajarnya adalah fisika modern, terutama fisika statistik dan mekanika kuantum.
Tahun akhir perkuliahan menjadi deadline untuk memutuskan kimia atau fisika untuk jenjang pascasarjana. Di tahun ini pula, saya bergabung dengan grup scanning tunnelling microscopy (STM, Wikipedia), di departemen kimia, sebagai tempat untuk saya menyelesaikan riset kelulusan. Lab ini tidak benar-benar kimia. Sayangnya, saya merasa kesulitan dalam memahami konsep dasar di lab ini menggunakan pengetahuan kimia saya selama 3 tahun kebelakang. Atas dasar ini, saya merasa jika saya masuk fisika, saya akan lebih bisa belajar; baik dari kelas yang tersedia maupun dari Sensei yang notabenenya adalah seorang fisikawan. Akhirnya, saya menantang diri saya untuk mengikuti tes masuk S2 jurusan fisika, masih di Tohokudai.
Dua pilihan yang saya simpan sampai akhir adalah eksperimen fotoemisi dan teori materi terkondensasi, karena sama-sama melakukan riset terhadap material superkonduktor. Detik terakhir, dan karena melihat panjangnya jam kerja grup eksperimen (apalagi grup STM), saya memutuskan untuk masuk fisika teori saja. Adalah ibu saya yang berpesan untuk hidup seimbang: Tidak melulu bekerja, tapi juga beribadah dan meluangkan waktu untuk bertemu dengan keluarga dan teman. Setelah diizinkan calon Sensei (yang mengerti minat dan latar belakang saya), saya pun mengikuti ujian.
3 hari 3 malam, 72 jam: matematika fisis, mekanika klasik, listrik-magnet, termodinamika-statistik, mekanika kuantum, dan esai tentang fisika adalah isi take home test untuk seleksi masuk program pascasarjana bernama IGPAS Tohoku. Sulit sudah tentu. Alhamdulillah, saya dapat menyelesaikan setidaknya 80% (20% tidak terjawab). Hasil dari belajar selama satu bulan penuh, fokus pada materi yang lebih fisika, dan “membajak” kelas cukup mengantarkan saya lulus ujian pascasarjana. Namun, tentunya wawasan saya jauh lebih sedikit dibanding para sarjana fisika. Hal ini adalah PR untuk saya yang memulai lebih lambat, membaca banyak buku, mempelajari lebih banyak persamaan dan teknik matematika, dan juga bahasa pemrograman.
Dua bulan sudah, walaupun sepertinya sedikit lebih sulit, saya merasa sangat nyaman berada di jurusan fisika material, baik secara asupan konsep maupun secara minat riset yang masih menggebu-gebu. Saya akan melakukan riset terhadap perhitungan (komputasi) dari sifat superkonduktor dalam waktu dekat. Jika metode ini berhasil, bukan tidak mungkin kita dapat mengupas satu per satu fenomena yang menyebabkan superkonduktivitas; dimana masih banyak sekali yang belum bisa dijelaskan dengan teori yang ada.
Jadi,
kenapa bisa pindah dari kimia ke fisika?
- Karena saya hanya 'merasa bisa' di kimia, tapi tidak memiliki passion yang lebih.
- Saya selalu penasaran dengan fenomena superkonduktivitas. Saya berpikir, saya akan lebih banyak belajar jika ada di jurusan fisika.
- Kebetulan, saya menemukan grup riset teoretis yang cocok dengan minat saya. Sensei-nya pun dikenal sebagai orang baik. Riset teoretis terlihat lebih realistis mengingat keadaan dunia riset di Indonesia sekarang dan masih terlihat relevan.
Terima
kasih telah membaca hingga paragraf ini. Kamu, apakah merasa cocok
dengan jurusan sekarang? Dalam artian, bersediakah Kamu membawanya ke
dalam dunia profesional? Jika sudah, selamat! Jika belum dan jika ada
kesempatan, tidak salahnya menanyakan diri Kamu sendiri, apakah Kamu
belajar di jurusan sekarang hanya karena merasa bisa atau benar-benar
karena tertarik.
Salam
hangat. Matahari baru saja terbit di timur Sendai.
Post a Comment: