Sabtu, 09 Februari 2019


Hai. 

Pekan ini saya bersyukur: satu gap telah terlompati. Saya dinyatakan lulus di ujian masuk program magister di universitas dimana saya berada sekarang. Alhamdulillah. Meskipun sejujurnya bingung karena belum bisa mendapatkan beasiswa yang sepaket program (karena awardee dibatasi hanya untuk yang berasal dari luar Jepang, saya sendiri terhitung penduduk Jepang). Harus ke manakah saya mencari biaya untuk melanjutkan studi? Biarlah ini menjadi cerita yang dapat diceritakan di lain hari. Doakan, semoga saja. 

Saya ingin sedikit-banyak bercerita tentang satu gap ini.
Jika orang-orang merayakan awal tahun 2019 dengan pesta kembang api, atau sekadar berkumpul bersama keluarga layaknya orang Jepang, saya tengah bersiap-siap menghadapi ujian di hari keempatnya. Ujian masuk program magister, dengan jurusan yang berganti. Menginjak tahun keempat sebagai mahasiswa ilmu kimia, saya justru ingin belajar ilmu fisika di program magister nanti. Sedari awal, saya tahu, ini bukanlah hal yang akan mudah.

Tiga tahun lebih saya belajar ilmu kimia. Merasa bosan? Jenuh? Terlalu mudah? Tidak juga -sedikit, tidak terlalu. Alasan saya berpindah adalah murni keinginan dan tekad saya untuk menjadi seorang peneliti yang mandiri. Di samping itu, riset yang saya inginkan di masa depan adalah segala hal tentang superkonduktivitas, yaitu fenomena penghantaran listrik dengan tanpa hambatan. Tidak akan ada panas yang terbuang dari listrik dengan pada kabel superkonduktor.

Di tahun kedua perkuliahan saya dulu, saya bercita-cita untuk melanjutkan kuliah ke Oxford atau ETH Zurich. Saya ingat, saya ingin masuk ke jurusan fisika material eksperimental tentang superkonduktor. Sejak itu pula, saya merasa kimia seperti tidak terlalu penting, mengambil kelas for granted, hanya serius di kimia fisik yang sedikit-banyak ada keterkaitan. Tentunya, saya tetap serius menyelesaikan kuliah.

Waktu luang sedikit saya sisihkan untuk belajar fisika, meskipun nyatanya tidak terlalu efektif karena kemalasan saya. Tapi beberapa kelas saya ‘bajak’ untuk belajar fisika zat padat wkwk. Intinya mulai saat ini, saya belajar kimia hanya untuk mengisi kolom nilai, sedangkan minat saya sebenarnya sudah saya alihkan penuh kepada ilmu fisika zat padat.

Rencana ke Oxford kandas karena satu dan lain hal, terutama pertimbangan biaya dan beasiswa yang kelihatannya sangat sulit di dapat. Sejujurnya juga, saya malas mengambil dan membayar mahal GRE® dan IELTS hehe. Setelah masa pencarian berbulan-bulan, rasanya saya lebih baik lanjut saja di Tohoku University. Tapi ke grup riset siapa?

Secara lumayan kebetulan, saya menemukan seorang profesor (associate) fisika material teori yang melakukan riset terhadap material superkonduktor dan quasi-partikelnya. Fisika teori ini menurut saya sangat versatile, sangat bisa ‘dibawa pulang’ ke Indonesia nanti. Sebut saja K-sensei. Awalnya takut, grup fisika teori Tohoku terkenal dengan sensei-sensei-nya yang ‘eksentrik’. Setelah bertanya pada mahasiswa fisika setempat, ternyata beliau terkenal ramah dan mengajar dengan baik. 

Singkat cerita, setelah mantap menerima konsekuensi lulus atau tidaknya berganti jurusan dari kimia ke fisika, saya menghubungi K-sensei untuk meminta beliau agar menjadi supervisor saya untuk program magister, seperti yang disyaratkan program bernama International Graduate Program for Advanced Science atau IGPAS. Tidak seperti mahasiswa yang mendaftar dari luar negeri, saya bisa berbincang langsung (diuji langsung sebenarnya) dengan K-sensei. Meskipun beliau ‘kurang percaya calon mahasiswa IGPAS’ beliau mengizinkan saya mengikuti tes dan bergabung dengan grupnya jika saya lulus. Tentang seleksi IGPAS ini, mungkin, akan saya tulis di sini.

Seorang mahasiswa ilmu kimia mengikuti seleksi IGPAS Fisika


Tentunya, awalnya saya tidak yakin bisa mengerjakan tes. Saya tahu betul, fisika yang dipelajari sepintas lewat kuliah kimia fisik tidak akan cukup untuk mengupas bahkan segelintir soal tes lima tahun lalu. 6 bundel soal diunggah pada suatu hari Jumat sore, tepatnya pukul 15:00. Paket ujian itu berisi (1) matematika untuk ilmu fisika, (2) fisika klasik, (3) listrik dan magnet, (4) fisika statistik dan termodinamika, (5) fisika kuantum, dan (6) esai/karangan bebas. Saat itu saya sedang mengurus aplikasi beasiswa untuk menunjang program ini, baru mulai mengerjakan soal sekitar pukul 17. 


Saya bersyukur, saya diberi kemudahan. Jujur saja, dibanding dengan soal di tahun-tahun sebelumnya, soal yang harus saya kerjakan tidak terlalu abstrak. Malahan, beberapa soal pernah saya kerjakan di perkuliahan (yang menurut saya terbatas). 

Saya alokasikan 3 x 16 jam (lebih) untuk mengerjakan soal (8 jam per bundel). Jam isoma dan beberapa jam sebelum dan sesudah bangun tidur saya pakai untuk membayangkan model yang harus diselesaikan dalam soal. Meskipun begitu, hanya sekitar 70% yang bisa saya jawab. Sisanya tidak sempat karena keterbatasan waktu. Kebanyakan waktu saya terbuang pada penghitungan yang salah, merambat kepada salahnya soal-soal setelahnya. Esai, yang saya kerjakan dekat-dekat deadline, pun menurut saya sangat berantakan. 

Selang 2 pekan, saya berkunjung lagi ke kantor K-sensei, bersama salah seorang koleganya, untuk sesi wawancara. Di sana, saya ternyata disuruh mengerjakan soal lagi, soal baru, dan mendadak. Terlihat bisa dikerjakan, namun ternyata fundamental. Saya merasa mengecewakan. Namun, setelah ini saya hanya bisa bertawakal dan berdoa.

Hasil Seleksi


Maaf ini tidak membuat geregetan: 7 Februari hasil tes diumumkan, dan ada nomor saya di sana. “Successful applicant without scholarship. Tetapi dengan ini, satu gap telah terlompati. Gap berupa ketidakyakinan, apakah saya bisa begitu saja mengganti jurusan. Dengan ini pun, tidak sia-sia saya membajak kelas di masa muda perkuliahan wkwk.

Lulus tanpa beasiswa. Sejak awal, saya tidak diperkenankan untuk mendaftar beasiswa yang melekat pada program. Beasiswa ini dikhususkan untuk peserta yang berasal dan melakukan aplikasi dari negaranya. Hal positif dari ini adalah: saya tidak perlu terlalu ambisius. Cukup berusaha semampunya, karena mengerjakan hal yang tidak dipelajari secara fokus saat masa kuliah sudah sulit. Target saya hanya ingin lulus dan memperbaiki hidup.

Saya masih ingat masa-masa kegalauan saya saat mendaftar progam ini: fisika atau kimia? Dalam ujian kimia, saya tidak perlu belajar sesulit belajar fisika hampir dari nol. Pun, benar atau tidak, profesor saya saat ini berujar beliau siap membantu masa depan saya menjadi seorang ilmuwan. Hal yang kurang berkenan dari sini adalah versatilitas bidang saya di Indonesia dan jam kerja. Menggunakan mikroskop pemindai dapat memakan waktu 14 jam lebih dalam sehari. Pesan ibu saya, cari pekerjaan bukan dari ambisi, tapi dari bagaimana pekerjaan tersebut bisa menstabilkan hidup, terutama ibadah, istirahat, dan keluarga. Saya tahu semua pekerjaan sulit. Namun, setidaknya pekerjaan yang bisa dikerjakan 9-5 dan bisa ditunda untuk esok hari setelah bekerja semampunya lebih baik bagi saya pribadi.

Lega. Tentunya masih ada gap-gap lain: 1) beasiswa, 2) kuliah fisika dasar yang tidak saya dapat layaknya anak S1 fisika, 3) pemrograman/koding karena saya adalah calon mahasiswa fisika teori, juga 4) riset S1 dan 5) skripsi, yang tidak kalah menyeramkan.

Bagi pembaca, jangan takut untuk berganti haluan jika memang bukan pada minat atau profesionalitasnya. Memang sulit dan pula butuh biaya, namun jangan sampai menyesal berdiam pada tempat yang bukan seharusnya. Tentunya saya berharap teman-teman cocok dengan jurusan yang sedang/akan dipilih (btw semangat SBMPTN!). Sejujurnya saya pun tidak tahu, apakah ini pilihan yang tepat. 

Tapi setidaknya, inilah yang saya ingin tempatkan pada profesi saya mendatang.

Penutup, saya berterimakasih atas doa teman-teman untuk saya. Sebagaimana balasan doa yang diam-diam, semoga apa yang didoakan juga menjadi kebaikan bagi teman-teman semua. Juga, silaturahmi via Tokyo di akhir tahun sangat mengisi kembali hati dan pikiran saya.


 

Salam.


Post a Comment:

:)
:(
=(
^_^
:D
=D
|o|
:"(
;)
(Y)
:o
:p
:P

EXPERIRON

Jika hidup dapat diibaratkan sebagai kumpulan gelombang baik dan gelombang buruk, dapatkah kita mengukur pengalaman sebagai mode diskrit yang terbentuk akibat superposisi keduanya?